Rabu, 07 November 2018

Tugas Pancasila

Agama Sebagai Sarana Politik

Presiden mengatakan, ”Jangan dicampuradukkan politik dan agama.” Kontan saja pernyataan ini menuai pro dan kontra, karena pernyataan tersebut bukan hanya multitafsir, melainkan juga kurang didukung argumen faktual, logis, dan sosial historis. Agama di negeri ini bukan semata urusan personal domestik, tapi juga merupakan persoalan sosial-politik.
Relasi agama dan politik selalu menarik didiskusikan dan dimaknai dalam konteks zamannya. Pasalnya, berpolitik tanpa beragama secara benar dan konsisten sungguh sangat berbahaya. Agama boleh jadi hanya diperalat atau dipolitisasi untuk kepentingan politik sesaat. Agama disalahgunakan untuk meraih kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tanpa dilandasi nilai-nilai agama dan akhlak mulia.
Beragama tanpa berpolitik juga tidak menguntungkan. Karena melalui politik, ekspresi keberagamaan dapat diaktualisasikan. Berbagai aturan hukum dan perundang-undangan yang diinspirasi dan diadaptasi dari nilai-nilai agama dapat dilegislasi dan dikodifikasi melalui proses politik. Melalui kekuasaan politik yang populis dan humanis, agama dan penganut agama mendapat perlindungan dan jaminan kebebasan dalam kehidupan beragama.
Karena tidak ada agama yang antiketuhanan yang mahaesa. Tidak ada agama yang menolak kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada agama yang diakui di Republik ini yang menganjurkan disintegrasi bangsa Indonesia. Tidak ada agama yang tidak menyuarakan spirit kerakyatan. Dan, tidak ada agama yang antikeadilan sosial.
Dengan demikian, sinergitas relasi agama dan politik, agama dan negara, kekuasaan dan keberagamaan adalah sebuah keniscayaan sekaligus merupakan bentuk simbiosis mutualisme yang saling mengisi, memaknai, mengayomi, dan memandu orientasi masa depan bangsa. Meskipun NKRI bukan negara agama  tertentu dan juga bukan negara sekuler, tapi mayoritas penduduknya beragama Islam dan beragama lainnya yang diakui oleh negara. Maka dari itu eksistensi agama dalam NKRI dalam sejarah panjang bangsa ini merupakan faktor pemersatu (uniting factor), perekat integrasi umat dan bangsa. Kalaupun ada percikan ”api pertikaian” antarwarga bangsa, maka boleh jadi diakibatkan oleh provokasi pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mengambil keuntungan dari pertikaian itu.
               Sungguh tidak terbayangkan, apa yang akan terjadi jika agama di Indonesia dipisahkan atau dipinggirkan dari kehidupan politik. Pembentukan Kementerian Agama (Kemenag) selepas kemerdekaan RI dan tidak pernah ”dibubarkan” hingga saat ini menunjukkan bahwa eksistensi agama dalam kehidupan bangsa ini sangatlah penting.
Eksistensi Kemenag merupakan bentuk apresiasi dan manifestasi dari sinergi agama dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Kemenag diharapkan mampu memainkan peran strategis dalam mengawal dan mewujudkan kerukunan umat beragama, baik kerukunan dengan pemerintah, dengan umat lain, maupun dengan sesama umat beragama itu sendiri.
Pluralitas agama dan pemeluk agama di Tanah Air itu secara konstitusional harus dilindungi dan dijaga secara adil, bijaksana, dan penuh toleransi. NKRI ini sungguh berutang budi pada agama-agama yang secara resmi diakui oleh negara.
Bayangkan saja, mana ada negara di dunia ini yang warganya dapat menikmati 11 hari libur nasional karena apresiasi negara terhadap hari raya agama yang dianut oleh warganya (Imlek, Nyepi, Wafat Yesus Kristus, Kenaikan Yesus Kristus, Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, Waisak, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriah, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan Natal).
Semua hari libur keagamaan tersebut tidak hanya strategis untuk dimaknai sebagai refleksi dan edukasi keagamaan bagi para pemeluknya, tapi juga penting dijadikan sebagai forum komunikasi nasional bagi negara untuk mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan bagi warganya sekaligus menyerap aspirasi dan inspirasi dari kehidupan umat beragama.


Andre Widya P.D 411710006

Sumber: https://www.uinjkt.ac.id/id/sinergitas-agama-dan-politik/