Agama Sebagai Sarana Politik
Presiden mengatakan, ”Jangan dicampuradukkan politik dan
agama.” Kontan saja pernyataan ini menuai pro dan kontra, karena pernyataan
tersebut bukan hanya multitafsir, melainkan juga kurang didukung argumen
faktual, logis, dan sosial historis. Agama di negeri ini bukan semata urusan
personal domestik, tapi juga merupakan persoalan sosial-politik.
Relasi agama dan politik selalu menarik didiskusikan dan
dimaknai dalam konteks zamannya. Pasalnya, berpolitik tanpa beragama secara
benar dan konsisten sungguh sangat berbahaya. Agama boleh jadi hanya diperalat
atau dipolitisasi untuk kepentingan politik sesaat. Agama disalahgunakan untuk
meraih kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tanpa dilandasi
nilai-nilai agama dan akhlak mulia.
Beragama tanpa berpolitik juga tidak menguntungkan. Karena
melalui politik, ekspresi keberagamaan dapat diaktualisasikan. Berbagai aturan
hukum dan perundang-undangan yang diinspirasi dan diadaptasi dari nilai-nilai
agama dapat dilegislasi dan dikodifikasi melalui proses politik. Melalui
kekuasaan politik yang populis dan humanis, agama dan penganut agama mendapat
perlindungan dan jaminan kebebasan dalam kehidupan beragama.
Karena tidak ada agama yang antiketuhanan yang mahaesa.
Tidak ada agama yang menolak kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada agama
yang diakui di Republik ini yang menganjurkan disintegrasi bangsa Indonesia.
Tidak ada agama yang tidak menyuarakan spirit kerakyatan. Dan, tidak ada agama
yang antikeadilan sosial.
Dengan demikian, sinergitas relasi agama dan politik, agama
dan negara, kekuasaan dan keberagamaan adalah sebuah keniscayaan sekaligus
merupakan bentuk simbiosis mutualisme yang saling mengisi, memaknai, mengayomi,
dan memandu orientasi masa depan bangsa. Meskipun NKRI bukan negara agama
tertentu dan juga bukan negara sekuler, tapi mayoritas penduduknya beragama
Islam dan beragama lainnya yang diakui oleh negara. Maka dari itu eksistensi
agama dalam NKRI dalam sejarah panjang bangsa ini merupakan faktor pemersatu (uniting
factor), perekat integrasi umat dan bangsa. Kalaupun ada percikan ”api
pertikaian” antarwarga bangsa, maka boleh jadi diakibatkan oleh provokasi pihak
tertentu yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mengambil keuntungan dari
pertikaian itu.
Sungguh
tidak terbayangkan, apa yang akan terjadi jika agama di Indonesia dipisahkan
atau dipinggirkan dari kehidupan politik. Pembentukan Kementerian Agama
(Kemenag) selepas kemerdekaan RI dan tidak pernah ”dibubarkan” hingga saat ini
menunjukkan bahwa eksistensi agama dalam kehidupan bangsa ini sangatlah
penting.
Eksistensi Kemenag merupakan bentuk apresiasi dan
manifestasi dari sinergi agama dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan, Kemenag diharapkan mampu memainkan peran strategis dalam mengawal dan
mewujudkan kerukunan umat beragama, baik kerukunan dengan pemerintah, dengan
umat lain, maupun dengan sesama umat beragama itu sendiri.
Pluralitas agama dan pemeluk agama di Tanah Air itu secara
konstitusional harus dilindungi dan dijaga secara adil, bijaksana, dan penuh
toleransi. NKRI ini sungguh berutang budi pada agama-agama yang secara resmi
diakui oleh negara.
Bayangkan saja, mana ada negara di dunia ini yang warganya
dapat menikmati 11 hari libur nasional karena apresiasi negara terhadap hari
raya agama yang dianut oleh warganya (Imlek, Nyepi, Wafat Yesus Kristus,
Kenaikan Yesus Kristus, Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, Waisak, Idul Fitri, Idul
Adha, Tahun Baru Hijriah, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan Natal).
Semua hari libur keagamaan tersebut tidak hanya strategis
untuk dimaknai sebagai refleksi dan edukasi keagamaan bagi para pemeluknya,
tapi juga penting dijadikan sebagai forum komunikasi nasional bagi negara untuk
mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan bagi warganya sekaligus
menyerap aspirasi dan inspirasi dari kehidupan umat beragama.
Andre Widya P.D 411710006
Sumber: https://www.uinjkt.ac.id/id/sinergitas-agama-dan-politik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar